Suatu hari saya diundang teman untuk makan siang bersama mencicipi salah satu makanan tradisional Korea Selatan, andong cimta. Disanalah eksplorasi pemahaman saya mengenai budaya Korea selatan (Korsel) dimulai. Teman saya itubercerita tentang perusahaan raksasa Korsel yang juga menjadi salah satu pemain utama seluler di Indonesia. Kata-kata yang kerap mendarat di telinga saya adalah, “Kalau mau kerja di perusahaan A, siap-siap saja memulai pekerjaan tanpa memiliki waktu untuk kehidupan lain, karena kita dituntut untuk sungguh-sungguh bekerja keras!” Ketika mendengar perkataan itu, yang muncul dalam pikiran saya, “Pantas, mahasiswa Korsel terlihat begitu ambisius, mengutamakan kualitas, cepat, dan pekerja keras.” Budaya kerja keras sangat lekat dengan kehidupan masyarakat ini, begitu pula dengan mahasiswa-mahasiswanya.
Mungkin akan sulit kalau saya mendeskripsikan secara detail mengenai budaya “Kerja Keras” dalam masyarakat Korsel.Namun kita bisa melihat dari hal yang sederhana, yaitu bagaimana persiapan para pelajar dua minggu sebelum ujian;perpustakaan selalu penuh dengan mahasiswa yang mengambil tempat untuk belajar mempersiapkan ujian,sampai-sampai mahasiwa pertukaran pelajar lain sering mengatakan, “Rumah mereka berpindah ke perpustakaan selama masa ujian.” (Hal ini tentu saja didukung dengan fasilitas perpustakaan yang lengkap, nyaman, dan terbuka 24 jam setiap hari bahkan weekend).
Dalam menyelesaikan pekerjaan, mereka juga cepat, gesit, dan sangat mengutamakan kesempurnaan. Bagi saya, pengalaman bekerjasama satu tim dengan mahasiswa Korsel banyak memberikan motivasi dan pembelajaran terhadap kehidupan sehari-hari terutama mengenai “bekerja dalam tim”. Saat itu, saya dan teman satu tim yang berisi hampir semua mahasiswa Korsel, terkecuali saya harus menyelesaikan tugas Consumer Issue Debate (CID). Isu yang diajukan harus berasal dari kelompok kami, presentasi dan penyajiannya, serta bagaimana debat nantinya berlangsung, semua bergantung pada pemikiran kelompok kami.
Pada waktu itu, untuk mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan CID, tim sudah memulai rapat beberapa bulan sebelumnya dan dua minggu sebelum presentasi diadakan, tim-tim dalam kelompok tersebut memotivasi satu dan lainnya untuk menyelesaikan materi presentasi. Sisa waktunya akan dihabiskan untukRehearsal (latihan terakhir).
Tidak hanya dari sisi mahasiswa saja. Para dosen yang mengajar pun tidak kalah dalam merespon, pengajaran, dan latar belakang. Beberapa perbedaan saya rasakan selama berada di Korsel, yakni; Petama, sistem pengajaran mereka cepat, jika di Bandung untuk satu semester saya belajar 6-8 bab, maka di Korsel saya bisa belajar satu buku penuh yang terdiri dari 13-16 bab.
Kedua, metode pengajaran yang disediakan di Korsel bervariasi dan mengutamakan pada pemahaman mahasiswa. Entah karena metode pengajaran mereka yang bagus atau kebetulan mata kuliah yang saya ambil memang membutuhkan banyak pemecahan studi kasus, proyek videografi, consumer reserarch, mengadakan survey kepada konsumen, interview isu-isu terbaru, hingga menghitung harga reservasi konsumen dan saya merasa lebih aplikatif. Mungkin apa yang kita alami selama perkuliahan di Indonesia adalah metode pengajaran yang dipakai lebih ke satu arah atau masih bersifat studi literatur.
Ketiga, setiap akhir perkuliahan atau topik, para dosen selalu menanyakan kepada mahasiswa apakah sudah benar-benar memahami atau belum (Beberapa dosen di negara kita telah menerapkan metode ini, namun entah kenapa terkadang respon kita suka berbeda). Keempat, para dosen sungguh menghargai mahasiswa walaupun usianya terpaut jauh. Hal ini terlihat dari hal-hal kecil yang mereka lakukan, seperti; perkuliahan selalu dimulai tepat waktu, apabila dosen terlambat duamenit saja, mereka langsung meminta maaf pada mahasiswa-mahasiswanya. Kemudian, mereka selalu meluangkan waktu untuk para mahasiswanya. Apabila ada satu hal yang belum dimengerti, para dosen menyiapkan waktu untuk konsultasi dan memberikan jalur serta ruang komunikasi yang terbuka. Selain itu, dosen-dosen yang mengajar di universitas hanya diperbolehkan bagi yang bergelar profesor dari luar negeri, USA adalah tempat favorit mereka untuk menimba ilmu.
Di akhir cerita ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari. Ketepatan waktu dan perasaan. Jika tidak tepat waktu, maka kita sudah merugikan orang lain. Selain itu, Respect and Appreciation, Punctuality, serta mindset “apakah hal yang kita utarakan dapat diaplikasikan dan sesuai dengan kualitas yang diekspektasikan atau tidak”. Memang tidak sederhana, tapi saya percaya banyak dari mahasiswa Indonesia yang memiliki kualitas demikian. Saya pun masih dalam proses pembelajaran dari inspirasi-inspirasi yang mereka berikan untuk hidup saya.
Satu hal penutup yang cukup membuat saya terkesima dengan moralitas masyarakat Korsel, mereka tidak memiliki keberanian untuk mencuri. (Saya tidak membandingkan atau bukan berarti di indonesia seperti itu, namun hal ini adalah hal utama yang membuat saya impressed) Apabila kita meninggalkan barang secara tidak sengaja di tempat umum, jangan takut untuk kehilangan. Karena kita bisa melacaknya atau pihak tersebut tidak akan mengambil dan bahkan mengembalikannya. Semoga cerita ini memberi inspirasi bagi kita semua.